Senja berlalu menyisakkan suara gemuruh. Oranye kekuningan menghiasi peredaran langit. Rasanya seperti mengulas sisa ingatan yang tersisa. Pesisir yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Sepi..begitu tenang, hanya terdengar hembusan ombak bertautan.Setahun yang lalu sejak kegiatan Temu Karya Ilmiah Mahasiswa/i Arsitektur Indonesia (TKIMAI) ke 31 yang berlangsung di Jawa Timur. Kegiatan yang mempertemukan seluruh mahasiswa arsitektur dari sabang sampai merauke. Menyisakan cerita, kenangan dan pengalaman yang luar biasa.Surabaya-Malang. Stasiun kereta, terminal, desa, sampai pesisir pantai. Tertanam kerinduan, terkenang pengabdian, dan kebersamaan yang masih jelas diantara ribuan sel neuron otak. Kami saling bertemu, berkenalan, bersosialisasi dengan warga sekitar. Dengan bahasa yang begitu berbeda dan adat dan tradisi yang tak sama ternyata bukan halangan yang berarti.
***
Ku
tempelkan wajahku di gagang besi mobil. Wajah pucat, kusam dan tak seperti
biasanya. Perjalanan menuju tempat Pengabdian Masyarakat (Pengmas) ini sangat
menguras energiku. Bagaimana tidak, selama kurang lebih sepuluh jam harus ku lalui
dengan mobil yang popular dengan sebutan truk TNI. Warnanya hijau army. Dengan
bak diatapi terpal yang membuat angin berhembus kencang langsung masuk tanpa perantara.
Jalanan
yang tak semulus jalanan kota. Berkelok sangat tajam, terkadang menanjak dan
tiba-tiba bisa sangat menurun seperti pada wahana taman wisata. Sebagian anak
di dalam mobil amat menyukai trek seperti ini, beberapa sudah terlelap
kelelahan dan sisanya masih terlihat semangat melihat pemandangan pesisir
sebelum sampai ditempat tujuan.
Hari
itu rombongan Mahasiswa/i Arsitektur Indonesia tiba sekitar pukul tujuh petang.
Perjalanan panjang yang begitu melelahkan. Langit semakin gelap. Udara semakin
dingin menyapa. Setelah truk-truk parkir dengan sempurna, barang-barang menjadi
yang pertama kali diturunkan. Kemudian
barulah peserta rombongannya.
“Ta,
bangun. Ini lho, sudah sampai” suara
Aryo pelan.
“Hoamptt..
aku ketiduran yah, Yo. Ini kita dimana?” wajahku tak beraturan.
“Hapus
dulu ilernya tuh masih nempel” ledeknya.
“Haduh
wanginya ilerku.. HAAAAAHHHH” sekuat tenaga ku semburkan wangi naga ke wajah
Aryo yang meledek ilerku.
“Oalaaah
joroknya kamu, Ta..ta” amuk Aryo sambil mencubit hidungku.
“Aww..
aww.. aww.. sakit tau, awas kamu Yo !!!” sekejap saja nyawaku terkumpul penuh
karena cubitan itu. Aryo berlalu.
Setelah
menghabiskan waktu selama dua hari di Surabaya, kemudian kami diajak untuk
terjun langsung ke sebuah desa pesisir pantai di daerah Malang dalam kegiatan
pengabdian masyarakat. Balai desa adalah tempat pertama yang kami singgahi
disini.
“Teman-teman..
Selamat datang di Desa Gajahrejo, Dusun Bajulmati, Kecamatan Gedangan,
Kabupaten Malang. Beginilah keadaan desa kami. Oiya disini langka signal. Jadi
semoga kalian betah dan kerasan disini” sambut Kepala Desa disana. Beberapa
penduduk desa juga turut menyambut kedatangan kami.
“Teman-teman
selama disini, kalian nantinya akan dibagi ke dalam beberapa kelompok dan bisa
beristirahat di rumah-rumah warga yang telah ditentukan. Sampai disini paham?”
Aryo memberi pengarahan.
“PAHAAAAMMM...”
semua menjawab serentak.
“Sebelumnya
saya akan memberi absen kepada masing-masing BPR atau Badan Pengurus Rayon. BPR
1, Jakarta. BPR 2, Jawa Barat. BPR 3 Jawa Tengah. BPR 4, Yogyakarta. BPR 5,
Jawa Timur...” Sastra memulai pembagian absennya hingga BPR 20, Bandar Lampung.
Aryo dan Sastra memang satu paket. Mereka anggota BPR 5 yang juga bagian dari
panitia.
Setelah
absensi, pembagian wilayah dan pembagian kelompok semua selesai akhirnya kami
di antarkan menggunakan mobil pick up ke wilayah masing-masing untuk
beristirahat. Jalan disana masih menggunakan bebatuan dan beberapa jalan
setapak. Penerangan jalanpun masih sangat minim.
Desa
Gajahrejo merupakan desa terdekat dari pesisir Pantai Bajulmati. Penduduk
sekitarlah yang berperan penting dalam menjaga kelestarian pantai tersebut.
Bajul yang berarti buaya, dan Bajulmati memiliki arti Buaya Mati. Jaraknya
sekitar 58 kilometer dari Kota Malang. Jalan menuju kesana memang sudah
beraspal sebagian, dan sebagian lagi masih berbatu dan berdebu.
***
Seperti
memutar waktu, membawaku kembali ke tempat itu. Ditempat yang sama, di desa
yang dulu pernah mempertemukan kami semua. Ku buka satu persatu folder yang
berisi foto-foto walpaper tersebut. Menyita per-sekian menit waktuku. Suasana
mulai membias haru. Aku mengingat semuanya. Masih sangat jelas.
Siang
itu cuacanya sangat cerah. Sinar mentari masuk disela-sela ventilasi kaca jendela
kelas. Ruang yang begitu terang dengan pemandangan hiruk pikuk Kota Jakarta.
Suara klakson kendaraan berlalu lalang seperti menjadi musik klasik ibukota.
Hari yang membosankan karena tak ada satupun dosen yang masuk ke kelas pagi
tadi hingga menjelang pertengahan hari.
“Ehmmm...”.
Mataku tiba-tiba tertutup oleh kedua tangan yang tidak asing. Tangannya begitu
hangat memudarkan lamunanku.
“Siapa
nih? Arga deh pasti? Mudah saja tertebak, kusebutkan langsung namanya.
“Tumben
diem. Lagi ngapain sih?” tanya Arga penasaran.
“Nostalgiaan”
jawabku singkat.
“Kenapa?
Kangen ya? Kangen desa-nya, pantai-nya atau....?”
“Arga..mulai
deh. Udah ah sana jangan ganggu ya ya ya” aku mulai terbawa perasaan. Arga
memang tau segalanya. Seringnya dia selalu tau apa yang aku fikirkan.
“Sastra
Nada Ganesa.. berapa tahun sih kita temenan? Aku tau kamu, Ta” Arga mendekat.
Ekspresi wajahnya mulai berubah. Aku sangat hapal tanda ekspresi itu.
“Argata
Mahesa Purnama, mulai deh. Aku nggak apa-apa ko. Beneran deh. Ke perpus yuk” ajak
ku mencoba mengalihkan perhatian.
“Ta,
gimana kalau liburan semester ini kita main ke rumah Pak Adi?” ajak Arga sontak
membuatku terkejut.
“Arga..tapi
kan jauh banget. Lagian aku juga udah lupa jalan kesana. Emang kamu masih
inget?” tanyaku, sambil berusaha menutupi rasa senang dalam hati.
“Sastra,
sekarang jaman udah canggih. Kita kan bisa ajak Retno. Kalau gak salah rumahnya
kan di sekitar Malang. Lagian aku masih punya kok kontak seseorang yang bisa
bantu kita kesana. Udah tenang aja. Oke Ta, see
you” Arga berlalu. Tak dapat ku pungkiri hati ini sangat senang sekali.
***
Pagi itu adalah pagi yang paling ku
tunggu. Setelah beberapa hari mempersiapkan perbekalan. Dari Jakarta ke Malang
membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kami ber-enam; Aku, Arga, Retno,
Jonatan, Aulia dan Rafi pergi menggunakan transportasi kereta api dari Stasiun
Gambir Jakarta.
Matahari
bersinar sangat cerah. Langit-langit kota seakan mengizinkan kami untuk pergi
hari ini. Kereta melaju begitu cepat. Meskipun begitu, tetap saja aku merasa
bosan karena tidak sabar ingin segera tiba disana.
Halo, Ren. Gue masih di kereta nih. Kira-kira
mungkin 5 jam lagi sampai di Stasiun Malang.
Yo..yowis, ta tunggui. Ini saya sudah di rumah Rudi
di dekat stasiun. Kabari yoo.
Arga menelepon teman yang
katanya nanti aku sendiri juga kenal siapa orangnya.
Retno
dan Aulia sudah terlelap sedari tadi, sedangkan Jonatan dan Raffi masih konsen
bermain UNO dan aku masih saja memandangi pemandangan hijau yang terbentang
sejauh mata memandang dari balik kaca kereta.
“Ta,
bangun. Makan dulu nih. Nanti Pop Mie-nya keburu dingin” Arga membangunkanku.
Dia memang teman yang paling perhatian.
“Belum
laper, Ga. Buat kamu aja duluan” Mata ini terlelap kembali dengan sendirinya.
Berharap saat mata terbuka sudah berada di Stasiun Malang.
Setelah
menunggu selama sepuluh jam lebih akhirnya kami tiba di Stasiun Kota
Malang. Betapa terkejutnya aku ketika
melihat seorang laki-laki paruh baya berdiri di muka stasiun untuk menjemput
kami. Pak Adi. Orang yang mengizinkanku untuk tinggal dirumahnya selama
pengabdian masyarakat didesa dulu. Seseorang yang sudah seperti orang tuaku
sendiri. Penampilan Pak Adi jauh lebih rapih dibanding yan dulu aku kenal.
“Surprice..
gimana, Ta? Seneng nggak Pak Adi langsung yang jemput kita di stasiun?” Arga
benar-benar membuatku tidak bisa berkata apa-apa lagi.
“Bapak,
Sastra kangen. Bapak dan Ibu sehat kan?” sambil berusaha membendung air mataku.
Menahannya agar tidak jatuh.
“Alhamdulillah
Bapak dan Ibu dirumah sehat. Bagaimana kuliahmu?” tanya Bapak.
“Alhamdulillah
lancar, Pak. Yuk kerumah. Sastra kangen sekali dengan Ibu” tak banyak basa-basi
aku langsung mengajak semuanya untuk bergegas. Ketika sampai di tempat parkir
stasiun, selanjutnya ternyata masih ada kejutan lain.
“Arga.
Maaf tadi saya ke toilet. Gimana kabarmu?” suara yang tak asing bagiku. Suara
yan sudah lama tidak pernah ku dengar sejelas dan sedekat ini. Beberapa saat
aku kembali mengingat dimana aku pernah mendengar suara itu.
Aryo
Rendra Hadinata. Aku mengenalnya dengan nama Aryo. Mahasiswa Universitas
Brawijaya Malang Jurusan Arsitektur semester enam satu tahun yang lalu. Mungkin
sekarang sudah lulus. Tingginya sekitar 170 cm. Kulitnya sawo matang. Seseorang
yang pernah menorehkan cerita singkat dulu, selama kegiatan TKIMAI di Jawa
Timur.
“Hy
Ren. Gue baik ko”, “Ta, masih inget nggak orang yang aku ceritain ke kamu yang
bakal jadi pemandu kita selama disana? Nah kenalin, Rendra namanya. Dia
sekarang tinggal di Malang” ucap Arga polos. Sepertinya aku memang belum pernah
menceritakan tentang Aryo alias Rendra kepadanya. Aku hanya terdiam terpaku.
Wajahnya masih sama. Tidak ada yang berubah. Hanya bedanya, Aryo yang sekarang
seperti tak mengenalku. Entahlah.
***
Hamparan
pasir putih tempat kami saling bertumpu sambil berkejaran. Karang besar hitam
berlumut tampak kokoh ditengah sana. Meski beberapa kali terhantam berbagai
jenis ombak. Pemandangan Pantai Bajul
Mati dengan segala kehidupan masyakat pesisirnya yang masih terlihat serupa.
Tambak-tambak
ikan masih luas terhampar dengan kincir airnya. Pantai yang menyimpan segudang
misteri mitologi. Masyarakat sekitar sangat percaya terhadap adanya ‘ombak colongan’. Ombak yang katanya
bisa muncul tiba-tiba dan membawa korbannya tenggelam ke laut lepas.
Hari
pertama berada di Dusun Bajulmati, dirumah Bapak dan Ibu. Kami langsung menuju
Pantai Bajul Mati yang berjarak cukup dekat dari desa. Dari rumah bapak memakan
waktu kurang lebih setengah jam dengan berjalan kaki sampai ke pantai. Kami
melihat matahari terbit disana. Sebuah karya Tuhan yang sangat indah dan
menakjubkan.
“Ret,
fotokan aku sama bapak dan ibu” ucapku tak sabar untuk mengabadikan momen
menyenangkan ini.
“1..2..3..
senyum..cherrss”. Foto itu terasa baru kemarin. Masih sama seperti setahun yang
lalu.
“Ret,
fotokan lagi ya aku sama Sastra berdua. Yayaya?” Arga merengek.
“Hmm
oke deh. Habis itu kita foto bareng ya guys semuanya” Retno memang fotograper
yang handal. Semua bidikannya sangat pas.
Aku
melihat tatapan itu terus memandang ke arahku. Mencuri waktu disaat yang lain
asyik mengabadikan foto-foto bersama keindahan pantai. Lekat dalam balutan
bibir mungilnya. Lesung pipi itu menambah kadar manis senyumannya. Aku merasa
senyum itu masih milikku. Aku menyadarinya tapi tak mampu untuk membalasnya.
***
“Ta, inget nggak disini dulu kita
pernah ikut-ikutan pawai alias tradisi karnaval keliling kampung?” Retno
memulai obrolan. Kami sengaja melewati jalan-jalan desa. Keliling-keliling
bernostalgia.
“Nggak bakal lupa, Ret” ucapku
dengan senyuman tipis.
“Wong
aku masih inget banget dulu kamu sibuk ngatur anak-anak supaya terhindar dari
orang-orang mabuk, yang berjoged liar. Ha ha ha” Retno tertawa terbahak-bahak.
“Iya
iya aku inget, habis itu kamu dikejar-kejar anjing sampai rumah Bapak, sampai
ngomp...” tiba-tiba tangan Retno sudah berada tepat di bawah hidungku.
“Aaaaa
Sastra jangan dilanjutin. Itu aib” Retno membungkam mulutku.
Kami
berjalan menyusuri puluhan rumah-rumah warga sekitar. Setiap sisi jalan
terdapat pohon kelapa yang menjulang. Daunnya melambai-lambai seperti mengucapkan
selamat datang. Angin berhembus disela-sela dedaunan. Melewati pos, dan
gapura-gapura yang pernah menjadi saksi pengabdian kami.
Tidak
banyak remaja putra maupun putri disana. Rata-rata hanya ada anak-anak kecil
dari TK sampai SD, SMP pun hanya beberapa. Bapak pernah bilang kalau para
remaja di desa selalu merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Tolak ukur
kesuksesan di kampung ini adalah bisa membuat anak mereka kerja sejauh-jauhnya
dari desa. Tak heran jika banyak remaja disana yang bekerja sampai ke luar
negeri.
“Ta,
ko nggak nyapa Aryo? Kalian jadi canggung gimana gitu keliatannya” lagi-lagi
Retno mengusikku. Yang lain masih sibuk mengabadikan seisi desa. Maklumlah
mereka memang orang kota tulen, sehingga sangat jarang mereka menemukan
pemandangan seperti ini. Pemandangan yang sangat asri. Jauh dari keramaian,
jauh dari signal.
“Retno..sstt
jangan sebut nama itu lagi. Nanti Arga dengar” gantian aku membungkam Retno.
Mulutnya memang kadang suka kayak petasan.
“Hy
guys, barusan kita diajak Rendra untuk makan siang di rumah Pak Kades. Gimana?”
sambar Arga tiba-tiba.
“Woo
rezeki itu gak boleh ditolak, Ga. Cuusss” Aulia sangat bersemangat. Sepertinya
dari tadi dia memang sudah terlihat kelaparan. Tuan putri yang satu itu memang
jarang sekali berjalan kaki.
“SETUJUUUUUU
!!!” sambar Jo dan Raffi. Hanya aku yang tidak bersuara disana.
“Ta?
Gimana? Kamu ikut kan?” tanya Arga penuh perhatian.
“Ya
kalau yang lain sudah yes, apa boleh buat” ucapku datar. Bukannya aku tidak
lapar. Hanya saja perasaanku yang semakin aneh. Rasanya enggan sekali melihat
tatapannya. Tatapan yang pernah membuatku seperti terbang ke langit ketujuh.
Tatapan yang sama, yang pernah membuatku jatuh teramat dalam.
***
Warga desa memiliki kepribadian yang
sangat ramah. Mereka sangat senang jika ada orang kota berkunjung kesana. Kami
tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk makan dan menginap. Setahun yang lalu
pun begitu. Kami dilayani sangat baik. Kehidupan disana sangat kaya akan hasil
alam. Tetapi sayangnya, lokasi yang jauh membuat mereka jauh dari jangkauan
teknologi dan modernisasi.
Hari berlalu senja berganti malam.
Angin laut bertiup ke arah desa membuat lantai rumah menjadi lebih dingin dari
pagi tadi. Malam hari kami habiskan untuk berbincang-bincang dengan warga
sekitar di pos ronda. Pos itu termasuk hasil pengabdian kami setahun yang lalu.
Pos itu masih berdiri kokoh meskipun atapnya pernah roboh diterpa angin.
“Bagaimana adek-adek, apakah betah
saja berada disini?” tanya Pak Eko, ketua RT.
“Betah banget Pak. Disini meskipun
panas tapi sejuk” jawab Jonatan.
“Iya, kalau di kota mana ada yang
seperti ini” sambar Raffi.
“Yaiyalah, secara kalau di kota kan
gedung semua. Mana ada pohon-pohon besar, sawah-sawah, apalagi pantai yang
bagus sekal seperti disini” jelas Aulia.
“Kenapa tidak dijadikan sebagai desa
wisata saja disini, Pak?” tanya Arga. Pertanyaannya membuat seisi pos terdiam.
“Disini rawan bencana alam, Dek.
Pernah suatu ketika desa ini hampir tenggelam karena air dari sungai sebelah
yang meluap. Pernah juga puluhan pepohonan roboh akibat terpaan angin yang
sangat kencang” tutur Pak Hamid.
“Dan
baru-baru ini disinipun pernah terjadi gempa, meski masih termasuk gempa ringan.”
tambah Pak Ade.
“Pantai Bajulmati juga sering
memakan korban. Biasanya korbannya adalah orang yang berfoto selfi bersama laut
ini. Mereka terbawa ombak dan hilang” tambah Refa. Refa adalah putra pertama
Bapak dan Ibu.
Bukan informasi baru lagi. Karna
setahun yang lalu, aku pernah mendengar cerita itu dari Aryo. Seseorang yang
tidak pernah memberiku kepastian. Cerita itu tumbuh dan berkembang menjadi
sebuah mitos yang menyebar di kalangan penduduk sekitar. Tetapi tak satupun
warga mau meninggalkan desa tersebut. Perbincangan panjang itu berlangsung
hingga fajar menjelang. Disaat yang lain tertidur, diam-diam aku
mengendap-endap keluar.
Langkah kaki ini membawaku menyusuri
kembali jalanan desa hingga sampai ke pantai. Berjalan sendirian jauh lebih
baik dan tenang.
“Selamat pagi, Mbak. Ko sendirian
aja? Yang lain kemana Mbak?” sapa Bu Warsih pedagang sayur disana.
“Selamat pagi Mbok. Yang lain masih
teler di kasur, hehehe” sapaku kembali.
“Hai-hati diculik Mbak. Hehehe”
guyon si Mbok.
“Si Mbok bisa saja. Memangnya ini
Jakarta. Hehehe” ucapku sambil tertawa. Lalu kami berpisah diujung pertigaan.
Aku belok ke kiri dan si Mbok ke kanan.
“Mau kemana pagi-pagi sudah jalan
sendirian?” tanya seorang lelaki dari belakang.
“Permisi mau ke pantai, Mas” jawabku
datar. “Kok seperti suara Aryo ya. Ah mungkin hanya perasaanku saja” gumamku
beberapa detik lalu aku kembali berjalan.
“SASTRA SI TUKANG NGILER !” teriak
lelaki itu. Aku terdiam. Saat itu aku benar-benar yakin kalau laki-laki yang
berdiri dibelakangku itu adalah Aryo.
Aku membalikkan pandangan ke
belakang. Masih saja Aryo meneriakkan aku si tukang ngiler. Jantungku berdegup
begitu kencang. Rasanya aku ingin sekali memeluknya, bersandar di pundaknya
seperti dulu. Tetapi rasa gengsiku terlalu tinggi. Bagaimana tidak, dia yang terlebih
dahulu menghilang, bukan aku.
***
Kami
dipertemukan disini, di desa yang penuh rayuan untuk tidak kembali. Desa
pesisir yang indah nan asri. Disini pula kami tau bahwa jalur itu menuju ke
arah yang berbeda. Masa lalu sempat terlihat indah, namun kami tahu bahwa kami
tidak hidup disana.
Tak
terasa ini adalah hari terakhir. Kami harus segera pulang. Berada selama tiga
hari di desa mengajarkan banyak hal. Kesederhanaan, perjuangan, gotong royong
dan melupakan masa lalu. Seperti merefresh otak kembali.
“Kami
semua pamit, termakasih atas jamuan hangatnya” ucap Arga berpamitan mewakili
kami semua.
“Sama-sama.
Jangan kapok main kesini. Kalian sudah seperti anak kami sendiri, ndo” jawab Ibu dengan air mata yang
pecah dari pelupuk matanya. Rasa haru tak dapat kami hindari. Saling mendekap
erat.
Sepasang
tangan menarikku ke belakang diantara gerumunan warga yang saling berpamitan.
“Ta,
sudah lama saya ingin memelukmu seperti ini. Hati-hati dijalan. Ini ada
kenang-kenangan untukmu. Sudah lama saya membelinya tapi belum sempat
memberikannya padamu. Boleh aku memasangkannya?” ucap Aryo. Matanya memerah.
Aku
terdiam, mengangguk pelan. Ku pandangi sebuah kalung perak dengan bandul
berbentuk pohon kelapa yang melekat di leherku. Mata kami bertemu. Hanya sebuah
tatapan kosong yang tersisa.
“Selamat
tinggal Bajulmati. Selamat tinggal Aryo, Pohon kelapaku. Selamat tinggal Pak,
Bu.. terimakasih sudah mengajarkan banyak hal disini” gumamku lirih dalam hati.
Lambaian tangan mereka mengiringi kepulangan kami. Menutup semuanya.
Komentar
Posting Komentar