Siang itu kami dikumpulkan di
studio. Ruangan tempat bisanya kami melakukan berbagai macam kegiatan atas nama
‘skripsi’. Sekitar jam setengah 3, setelah semuanya hampir lengkap berkumpul
disana. Terdapat sepuluh pasang mata yang saling menatap penuh Tanya “mengapa
kami dikumpulkan disini ?”.
Suhu AC ruangan mendadak semakin
dingin kala salah seorang pria matang itu berbicara dengan sangat berwibawa. Nada
bicara yang santai, perlahan tapi pasti. Kami dibawa pada alur yang menegangkan
diawal . seperti biasanya, kata-kata beliau selalu memiliki pemaknaan yang
begitu cerdas untuk ditafsirkan. Kata-kata yang membuat hati meleleh (jika
sedang memuji) tetapi bisa sangat menusuk (jika sedang menguji).
Siang itu menjadi yang paling
menegangkan untukku. Sepasang mata tajam menatapku dengan melontarkan sebuah
pertanyaan yang sukses membuat dadaku sesak. Harus ku akui mereka memanglah
motivator handal. Ku rasa seharusnya yang lainpun begitu. Melakoni profesi
dengan penuh sungguh-sunggu. Aku merasa beruntung pernah mengalami fase ini. Jika
berubah ke arah yang lebih baik, kenapa tidak toh ?.
“Jadi, mengumpul ke-2nya esok ?”,
begitu kira-kira inti pertanyaannya kepada masing-masing anak. Ada tiga orang
yang ditanya seperti itu.
Saat itu adalah yang paling membingungkan.
Aku memang amat sangat optimis dengan kelulusan yang sering hadir dalam
bayanganku. Memakai kebaya dan atau topi toga dengan balutan hitam-hitam. Disaksikan
semua orang tersayang. Semua pasang mata tertuju padaku ketika nanti aku
menaiki anak tangga untuk mengambil ijazah dengan predikat lulus tepat waktu
dengan IPK Cumlaude. Kemudian aku memberi kata sambutan didepan sana. Membayangkannya
saja mampu membuatku seperti orang gila yang suka ketawa dan senyum-senyum
sendiri. Belum lagi dengan kebahagiaan orang tuaku yang mungkin jauh melebihi
bahagiaku. Selalu terbayang senyum lebar mereka mengembang penuh haru melihat
anak pertamanya telah menyelesaikan masa studinya.
Mengkhayal memang indah. Semua yang
indah-indah. Dari khayalan itu akhirnya ada motivasi. Meskipun mungkin banyak
sekali nyanyian-nyanyian sumbang dibelakang sana yang kerap menghalau semangat.
Pada dasarnya semua orang memang memiliki watak dan kepribadiannya
masing-masing.
Semua orang itu pada dasarnya pintar, hanya saja mereka memilih pilihan yang kurang tepat. Hidup ini pilihan, maka pilihlah. Tapi ingat, selalu ada resiko yang melekat. Kalian sendiri yang tau pilihan mana dan resiko apa yang akan terjadi.
Suasana ruangan menjadi hening
seketika. Setelah pembahasan semuanya selesai, aku bergegas menuruni anak
tangga menuju ruang dosen. Hari itu aku sudah memiliki janji akan menghadap
dosen pembimbing skripsiku, waktunya lalu bersamaan dengan pertemuan mendadak
itu. Alhasil beliau pulang terlebih dahulu. Hari ini adalah H-1 deadline
pengumpulan proposal.
Jantungku memacu dengan sangat
cepat. Sebenarnya sudah lebih dari tiga hari yang lalu aku merasa gugup. Aku cemas
jika hasilnya tidak sesuai dengan apa yang u harapkan. Sungguh, bukannya aku
sok soan hebat atau merasa pintar. Tapi memang bukan itu permasalahannya. Permasalahannya
adalah “Bagaimana aku dapat lulus tahun ini ? lulus bersama sahabat karib dan
kekasih tersayang. Bagaimana aku dapat menyudahi perjuangan kedua orang tuaku
untuk membiayai kuliahku yang tidak murah ?” Keinginanku begitu sederhana, “INGIN
LULUS TAHUN INI, WISUDA TAHUN INI, LALU BERKUMPUL KEMBALI DENGAN KELUARGA DI
KOTA ASALKU”.
Senja berlalu begitu saja. Waktu bergulir
begitu cepat. Tak terasa hari sudah gelap. Masih saja aku menatap layar leptop.
Entah mengapa malam itu aku merasa ditemani seseorang dari belakang. Keberadaannya
begitu terasa. Aku tidak merasa sedang sendirian. Suara emas Ebiet. G. Ade masih
terus berkumandang dari speaker leptop. Menyanyikan
sebuah lagu kesukaanku ‘Aku ingin Pulang’.
Kemanapun daku pergi, bayang-bayangmu mengejar..
Bersembunyi dimanapun, selalu engkau temukan..
Aku merasa letih, dan ingin sendiri..
Ku Tanya pada siapa, taka ada yang menjawab..
Sebab semua peristiwa hanya di rongga dada..
Pergulatan yang panjang, dalam kesunyian.
Aku mencari, jawaban dihati..
Ku segerakan menyusuri pantai..
Aku merasa mendengar suara !!!
Menutupi jalan, menghentikkan pertualangan..
Kemanapun daku pergi, selalu kubawa-bwa
Perasaan yang bersalah datang menghantuiku
Masih mungkinkah pintumu ku buka ?
Dengan kunci yang pernahku patahkan..
Lihatlah.. aku terkapar dan luka..
Dengarkanlah, jeritan dari dalam jiwa..
AKU INGIN PULANG.. AKU HARUS PULANG.. AKU INGIN PULANG
Suaranya begitu menenangkan
perasanku yang tak karuan. Malam yang panjang terasa sangat singkat. Masih saja
aku membaca serentetan jurnal-jurnal yang sudah tidak seharusnya ku lakukan. Mungkin
itu juga jawabannya mengapa kerjaku sangat lambat. Harus ku akui menulis sebuah
karya ilmiah bernama skripsi itu memang tidak seasick menulis karangan cerita
pendek. Skenarionya bebas. Skripsi itu semuanya harus berlandasan, ribet..mau
copas takut pas siding mélange-melongo, mau mahamin waktunya nanti nggak sempet
kan yah. Apalagi aku bukan tipe orang yang sekali baca langsung paham, atau
sekali liat langsung inget, atau yang tidak perlu membaca dan melihat langsung
tau kemana maksud dan tujuannya. Butuh begitu banyak proses. Kadang aku
membenci fakta tentang diriku yang satu ini. Tapi aku pernah baca kata-kata
motivasi yang isinya bilang ‘Kalau sudah
gak suka, jangan sampai benci. Dan kalau sudah bodoh, jangan sapai malas !’.
Berpijak dengan kalimat tersebut,
merasa bahwa aku agak susah untuk memahami sesuatu akhirnya aku berusaha keras
untuk tidak malas. Alhasil masa-masa perkuliahan ini aku menjadi orang yang
katanya susah dipahami, bahasaku ketinggian, dll. Semuanya sukses membuatku
berubah.
Perlahan tapi pasti. Metodenya,
sedikit-sedikit buka jurnal. Sedikit-sedikit buka internet dan banyak-banyak
ngelamun. Kadar kegugupanku mulai meningkat saat mendengar ayam berkokok
malam-malam. Ku pandangi jendela kamarku yang menunjukan langit masih berwarna
hitam pekat. Argh rasanya mustahil sekali jam segini ayam sudah berkokok. Di situasi
seperti ini, bunyi kokok ayam menjadi begitu menyeramkan. ITU PERTANDA SUDAH
MAU PAGI !!!!!
Aku masih terpaku disini,
dihadapan leptop yang sudah terlihat sangat lelah. Loadingnya melambat. Sering heng
akibat ulah aliran listrik yang tidak konsisten. Saat ini hanya dialah teman
sejatiku. Uap-uap kantuk mulai menyinggahi mulutku. Intensitasnya semakin
sering. Bagian mataku juga mulai bermerah dan basah. Sekitar dini hari, aku
memutuskan untuk beristirahat sejenak. Berharap Allah membangunkanku tidak
lama. Ku baringkan tubuhku dikasur yang penuh dengan kertas disana-sini. Tak ada
celah untuk kakiku menapak. Ruangan itu penuh dengan barang-barang, buku, dan
kertas-kertas yang terhambur dimana-man. Tak ada yang ku fikirkan lagi kecuali
hari pengumpulan itu.
Aku memang memilih untuk bekerja
lebih ekstrim dari teman-temanku. Pilihan itu yang menjadikan aku tenang untuk
menjawab mereka (kedua orang tuaku), tenang untuk menebus kesalahanku yang
tidak datang saat pembekalan pertama. Aku melakukan sesuatu yang aku sendiri
sudah tau jawabannya. Ibarat aku sedang menonton filem yang sama untuk kedua
kalinya. Tapi bagiku itu bukanlah suatu
kesia-siaan. Itu seperti bagian puzzle penyempurna gambar. Aku bahkan tidak
memiliki keyakinan tentang jawabannya nanti. Yang aku tau, selama aku
mengikutinya, aku masih punya HARAPAN DAN PELUANG. Tentang berapa jam yang
harus ku habiskan untuk meraihnya, aku bahkan tidak peduli. Yang aku tau adalah
proses itu tidak akan pernah mengkhianati hasil. Itu pilihanku. Aku akan selalu
mengingat hari itu. Hari dimana aku sendiri bahkan tidak yakin akan bisa
menyelesaikannya, tetapi dengan percaya dirinya aku berkata SIAP MENGUMPUL
KEDUANYA.
Allah menjawab doaku. Setelah terlelap
kurang dari satu jam, akhirnya aku terbangun dengan posisi yang rumit. Di sebelah
kiriku terdapat banyak semut. Disebelah kanan terkapar seekor kecoa yang tidak
bisa bergerak karna tubuhnya entah mengapa terbaik. Dan diujung kakiku berdiri
gagah sebuah kipas angin tanpa penutup pada baling-balingnya. Sedikit saja aku
bergerak, ke kiri atau ke kanan bisa fatal. Argh untunglah aku dibangunkan
dengan mimpi yang indah. Aku sepertinya mimpi indah, iya tapi aku lupa mimpinya
apa.
Jam menunjukkan pukul 05.00 WITA.
Jantungku mau copot rasanya. Tidur itu memang nikmat, tapi tidak dalam situasi
seperti ini. Langsung saja ku gapai leptopku yang nampaknya baru saja
istirahat. Pftt.. dengan kondisi setegah mengantuk ku rakit kembali
kesadaranku. Aku selalu ingat bahwa ini pilihanku. Dalam sisa-sisa jam yang
masih ada, ku lanjutkan kembali pengeditan proposal sambil sesekali mengerjakan
skripsi konsepnya. Banyak sekali rupanya yang masih typo. Maklumla, jika
seorang arsitek punya drafter; dokter punya suster; maka penulis juga pasti
punya editor. Hehe itu kan sudah dibagi masing-masing tugasnya. Lain kisah,
lain cerita. Skripsi ini dituntut harus baik; penulisan ataupun ejaan. Itu susah
banget..nget..ngett.. kaku..ku..ku..HMM..
Contohnya itu kalau kita mau
bilang arti nama, Suci berarti putih, bersih menurut Y.B Mangunwijaya,1999. Meskipun
orangnya hitam, tapi ya tetap putih dong kata Romo Mangunwijaya. Wkekekek.
Seringnya suka sekali dengan
kata-katanya para filsuf. Sastra banget, sampai dia bilang “Setiap bangunan merepresentasikan suatu artifak sosial, gerak
hati, daya kekuatan, dan komitmen kuat dari masyarakat” (Siro Kostof,1992). Adapula yang bilang seperti ini “Tidak
ada rahasia yang nyata dalam lansekap kota, tetapi hanya fakta nyata menunggu
kita. Tidak ada kekacauan dalam kehidupan kota, tetapi hanya pola dan
tanda-tanda yang menunggu untuk ditata”. (Grady Clay).
Demi mendapatkan sebuah sumber
yang valid, akhirnya aku harus membaca lagi. Paling hobi kalau ketemu kata-kata
menyentuh itu langsung dibaca terus-terusan sampai ingat. Kebetulan malam ini buku
dan tulisannya banyak menyinggung tentang perkotaan (efek permasalahan yang
diangkat). Aku sendiri merasa terkadang susah fokus pada 1 objek saja. Iya,
seperti tema stasiun kereta api yang mengangkat representasi sejarah dan budaya
lokal itu nyambungnya ke kota. Nyambung sih, tapi jatuhnya jadi salah fokus. Tapi
sekali lagi itu mungkin fase puzzle yang harus dilengkapi. Seperti Kota
dapat dipandang sebagai sebuah cerita, sebuah pola hubungan antara kelompok
manusia, sebuah produksi dan distribusi ruang, sebuah lapangan kekuatan, sebuah
rajutan keputusan, atau sebuah arena konflik. (Kevin Lynch), lhoo??
Akhirnya pagipun datang. Detik-detik
pengumpulan tersisa beberapa jam lagi. Mulai kembalikan fokus dengan minum
aq*a. Ku kumpulkan segenap semangat yang masih ada. Dengan sisa kesadaran. Pagi
itu lagi-lagi arus listrik harus nmati. Beberapa kali. Ditambah printer yang
bermasalah lengkap dengan leptop yang tiba-tiba mengusir fileku keluar dari ms.word.
Badanku lemas, fikiranku tidak karuan.
Jam-jam berlalu, kini waktu yang
tersisa hanya tinggal 45 menit. Kikuk menatap dua buah printer yang sudah kehabisan daya. Sempat terfikir
apakah ini saatnya aku menyerah ?. Lamunan itu berlangsung sekitar 15 menit. Beribu perumpamaan terlintas disana.
Syukurlah yang terlintas dalam benakku saat itu jika ini tidak dilanjutkan maka aku akan
membuang kesempatan dan harapan yang susah payah ku ikuti. Langsung saja aku
melarikan diri ke foto kopian untuk memprint sisanya. Waktu tersisisa setengah
jam. Degup jantungku bahkan lebih cepat dari irama bunyi printer. Ingin rasanya
ku tarik kertas itu supaya lebih cepat karena gerakan printernya terasa sangat
lambat. Ku putuskan awalnya untuk memprint satu exemplar saja. Kemudian aku
bergegas pergi ke kampus.
Fotokopi kejujuran prodi
benar-benar sangat membantu. Disana printernya cepat sekali, syukur Alhamdulillah
akhirnya aku mengumpul tiga exemplar meskipun dengan hasil yang belum maksimal.
Disitu rasanya amat sangat lega sekali. Akhirnya aku tidak jadi menyerah.
Hari ini menutup semuanya. Senang
sekali. Semangat selalu buat studio 49-50 !!!!
Maaf kepanjangan, terimakasih
readers :)
Komentar
Posting Komentar